APA KABAR, BO? Oleh Marina Wiseno.
(Bobo No. 51/XXV)
Bel pulang pun
berbunyi, anak-anak kelas VI-b segera menyiapkan
alat-alat tulis untuk dimasukkan ke dalam tas. Sandra si
ketua kelas segera memimpin doa. Selamat
siang Bu! Serempak seluruh isi kelas mengucapkan salam
sebelum keluar dari pintu kelas.
"Kita jadi kan ke kantor pos
sekarang?" tanyaku mencegat langkah Lusi.
"Iya,
masak diundur-undur lagi. Nanti kapan dimuatnya,"
jawab Lusi.
Aku mengangguk. "Boleh aku baca suratmu?"
pintaku. "Wah,
sudah aku lem di rumah tadi. Tapi isinya seperti yang
kukatakan kemarin kok. Cuma tanya bagaimana caranya
menghadapi teman sebangku yang cerewet seperti
kamu."
"Enak
saja. Memangnya aku nenek-nenek dibilang cerewet. Huh
mudah-mudahan saja suratmu tidak dimuat!" ujarku
sewot. Kulihat Lusi hanya tertawa kecil.
Kalau
suratmu isinya apa Put? Tanya Lusi.
"Surat
biasa saja. Aku cuma minta dikenalkan pada semua pembaca
Bobo. Biar aku dapat sahabat pena yang banyak. "Kamu
serius akan membalas surat-surat yang datang nanti?"
selidik Lusi. "Kalau
aku tidak repot, ya aku balas. Lagipula tujuan utamaku
bukan itu. Aku ingin namaku dimuat di majalah. Biar
top!"
"Dasar kamu!" sungut Lusi.
Aku cuma tertawa
mendengar nada suaranya yang kelihatan kesal. Sambil
menuju ke kantor pos yang letaknya tidak begitu jauh dari
sekolahku, kami bercanda-canda. Sampai di kantor pos aku
segera menuju loket penjualan. Lusi sudah menitipkan
prangkonya kepadaku. Akhirnya aku mendapatkan prangkoku. "Ini
prangkomu," aku menyodorkan prangko bernilai tiga
ratus kepada Lusi. Lusi menerima prangko dariku.
Aku
mengambil surat yang sudah kusiapkan sejak semalam.
Kutulis di amplop surat itu: Kepada Yth. Redaksi Bobo,
Jl. Palmerah Selatan 22 Jakarta 10270. Di sudut kiri
amplop kutulis 'Apa Kabar Bo'. Suratku ini memang
kutujukan untuk dimuat di halaman 'Apa Kabar Bo' di
majalah kesayanganku. Setelah menempelkan prangko di
sudut kanan amplop aku menghampiri Lusi. Kami segera
memasukkan surat kami ke kotak surat yang sudah
disediakan. "Rasa-rasanya
suratku dimuat duluan," gumamku agak keras.
"Huh!" Lusi memaki sambil menarik rambut
kuncirku.
Seminggu, dua
minggu, ya, hampir tiap kedatangan majalah BOBO
perasaanku tidak karuan menunggu suratku dimuat. Sampai
akhirnya tiga bulan lebih, aku jadi bosan. Suratku maupun
surat Lusi tidak pernah ada di halaman 'Apa Kabar Bo'.
Aku sudah melupakan sama sekali tentang surat itu ketika
pagi di hari Kamis Lusi berteriak menghampiriku. "Eh, ada apa? Seperti orang
kesurupan. Ini kan kelas, bukan di lapangan!"
tegurku terkejut. "Lihat
ini!" Lusi menunjukkan majalah Bobo terbaru di
tangannya. Aku belum sempat membaca majalah itu Bobo
baruku datang ketika aku keluar rumah. "Surat yang
waktu itu kukirim dimuat, Put!" Aku melihat
lembaran 'Apa Kabar Bo' yang ditunjukkan Lusi. Benar
saja, di sana ada surat yang ditulisnya. Malah ada gambar
lucu yang melukiskan gambar orang yang sedang cerewet. "Nah,
ini pasti gambar kamu!" seru Lusi lagi. Aku
menggigit bibirku. Ada rasa tidak suka di hatiku melihat
majalah itu. Apalagi, yang dimuat hanya surat Lusi. Aku
memaksakan diri tertawa ketika kulihat Lusi tertawa
sambil membacakan jawaban yang diberikan Bobo.
"Kalau
temanmu cerewet, plester saja bibirnya!" seru Lusi
lantang diiringi tawa nyaring.
Aku terus
menutupi perasaan kesalku selama di kelas. Namun begitu
aku tiba di rumah aku langsung meraih majalah baruku dan
merobek halaman yang memuat surat Lusi. Memangnya suratku
kenapa? Apa tulisannya jelek? Rasanya tidak, tulisanku
bagus kok. Atau memang Bobo pilih kasih. Wah, kalau
begitu curang.
Aku segera
mengambil kertas surat. "Bobo
yang curang, Putri mau
protes sama kamu. Kenapa surat Putri tidak dimuat,
sedangkan surat teman Putri dimuat? Bobo pilih kasih!
Padahal Putri cuma ingin dikenalkan kepada pembaca Bobo.
Apa susahnya memuat surat Putri? Pokoknya kalau surat
Putri tidak dimuat dalam waktu sebulan ini, Putri mau
berhenti langganan Bobo! Sudah dulu
ya! Putri" Kubaca ulang
surat yang baru kutulis itu.
"Putri!"
terdengar suara Bang Igor memanggil. "Pulang sekolah
bukan cepat makan dulu!"
"Iya,
sebentar! Cerewet!" aku mengomel pada abangku. Ah,
dia sendiri masih memakai seragam putih birunya. Belum
tukar pakaian.
Kulewati
begitu saja Bang Igor yang tengah berdiri di depan pintu
aku tidak mau lagi mendengar ocehannya. Tiga hari
setelah aku mengirim surat protesku kepada Bobo
(sebenarnya sih bukan aku yang memposkannya, sewaktu lusa
kemarin di meja belajarku surat itu sudah tidak ada.
Mungkin ibu yang mengirim, tapi aku tidak tanya-tanya
lagi) aku dikejutkan oleh sepucuk surat yang tergeletak
di meja belajarku. Buru-buru kubaca surat itu.
"Putri yang
sedang ngambek Bobo minta
maaf karena suratmu tidak dapat dimuat. Sebab Bobo
mendahulukan surat yang benar-benar membutuhkan jawaban.
Kalau Putri ingin dapat sahabat pena, kenapa bukan Putri
saja yang mengirim surat terlebih dahulu kepada mereka?
Putri dapat melihat alamat mereka di kolom 'Apa Kabar Bo'
atau 'Arena Kecil & Tak Disangka'. Kalau ingin nama
Putri dimuat kirim hasil karyamu yang lain, bukankah
Putri suka membuat puisi?
Putri jangan
terus-terusan mengambek, kasihan masa Bang Igor
dicemberutin terus. Juga jangan berhenti langganan Bobo.
Nanti kamu tak bisa ketawa melihat Pak Brongsong terkena
sihirannya sendiri.
Salam Manis,
BOBO
Kubaca ulang
surat itu. Terasa isi surat itu menyadarkan aku dari
kekeliruanku selama ini. Tetapi, bagaimana Bobo tahu aku
suka mencemberuti Bang Igor ataupun suka dengan cerita
pak Brongsong?
Otakku
berputar, aha akhirnya aku tahu, pasti Bang Igor telah
membaca surat protesku yang kutulis siang itu. Dan pasti
surat protesku tidak dikirim melainkan 'hilang' di tangan
Bang Igor. Lalu bang Igor membuat surat ini. "Bang
Igor!!!" aku berteriak kencang sambil keluar kamar
menuju kamar Bang Igor. Bukan, bukan aku ingin memarahi
abangku, tetapi ingin memberinya ucapan terima kasih
serta senyuman sebagai ganti kecemberutanku di hari-hari
kemarin.
|