First Created - December 13, 1998
BILA kita lihat negara tetangga terdekat, Singapura, budaya modernisasi
sudah merasuk ke dunia filatelinya. Prangko Singapura berharga satuan
(nominal) 20c yang kemudian berubah menjadi 22c mulai 10 Juli 1996, tidak
lagi menggunakan angka "20" atau "22" [Scott Catalogue no.751].
Prangko tersebut untuk keperluan lokal pemrangkoan di dalam
Singapore saja. For local addresses only, begitulah tertulis pada prangko
label (stiker/berperekat) yang mereka buat.
Prangko tanpa angka nominal tersebut pertama kali muncul tanggal 24 November
1993 bertema World Wildlife Fund. Sebuah buku prangko (booklet) yang terdiri
dari 15 prangko. Prangko ini juga sekaligus dalam bentuk prangko label
(berperekat).
Tampaknya peluncuran prangko tanpa angka nominal ini memberikan angin segar
dan keasyikan tersendiri bagi filatelis yang melihat barang baru tersebut.
Suatu perubahan drastis dari perfilatelian Singapura, yang tampaknya ingin
mengikuti jejak Amerika Serikat yang cukup populer dengan prangko labelnya
tanpa angka nominal (harga satuan), untuk pemrangkoan di dalam negeri saja
dengan berat surat tertentu. Biasanya yang dihitung adalah tingkat berat
pertama sampai dengan 20 gram.
Sebuah prangko label greetings Singapura yang diterbitkan baru-baru ini,
dengan tema Hello, suatu panggilan yang tentu dimaksudkan sebagai sapaan
bersahabat. Terdiri dari 10 prangko (vertikal 5 X 2), yang dibuat dalam
bentuk booklet lipat tiga bagian.
Sedangkan bagian sebelahnya (dua pertiganya) mencantumkan stiker bulat 10
buah berisi berbagai ucapan kembar. Yaitu Thinking of you, Good Luck, Have a
nice day, Best wishes, dan With Love. Selain itu, tercantum pula kode
komputer untuk memudahkan pedagang mendeteksi harga booklet tersebut dengan
nominal 2,20 dolar Singapura. Booklet ini dijual di pasaran di
Tokyo dengan harga 400 yen (1 dolar Singapura = 75yen per 30 November,
1998).
Sebagai "Jembatan"
Menurut seorang filatelis Singapura, harga 400 yen tersebut jelas sangat
mahal. Meskipun model baru ini sempat menggairahkan filatelis Singapura,
namun kenyataan harga pasar tidaklah baik.
Mengapa? Jumlah cetaknya cukup banyak dibandingkan prangko dengan format
biasa. Nominal rendah untuk penggunaan lokal, dan banyak dipakai masyarakat
karena mudah dibawa dan mudah digunakan. Satu faktor lagi, diperkirakan
model yang ke luar dari kaidah dasar perfilatelian ini, tampaknya masih
belum disukai filatelis senior.
Model prangko label tanpa angka nominal ini bisa dikategorikan sebagai
"jembatan" atau perpaduan antara prangko biasa dengan prangko Cinderella.
Oleh para filatelis, prangko Cinderella, didefinisikan sebagai carik semacam
prangko, tetapi tidak dapat digunakan untuk keperluan pemrangkoan.
Bila dilihat prangko Hello tersebut, satu hal menarik pula mungkin bisa
diperhatikan adalah pembolongan bagian atas tengah di lipatan kedua dan
ketiga dari booklet tersebut. Kurang jelas, apakah pihak penerbit Singapore
Post berangan-angan
booklet tersebut bisa digantung di leher sebagai asesori manusia, atau
mungkin bisa digantung di dinding tempat kita bekerja, seperti layaknya
kalender dinding. Entah apa maksud sebenarnya, pemberian perforasi di tengah
benda filateli ini cukup mengusik penulis secara pribadi.
Bisa Digabungkan
Penggunaan prangko ini tidak hanya dipakai tersendiri. Tetapi bisa
digabungkan dengan prangko lain, apabila beban suratpos melebihi yang
dipersyaratkan. Jadi penggunaan prangko ini pun bisa "dikawinkan" dengan
prangko Singapura lain dalam format yang biasa.
Kalau melihat sejarah penerbitan prangko label Singapore, pada hakekatnya
bisa disimpulkan maksud penerbitan benda filateli itu untuk peningkatan
persahabatan manusia. Tema kasih (love), seni dan lingkungan hidup pernah
mewarnai prangko label Singapura. Dan modernisasi pihak pos Singapura
tampaknya juga seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan pos dan
semakin canggihnya penggunaan teknologi pos di Singapura. Sebagai titik
tolak tinggal landasnya bisa kita ambil tanggal 1 September 1995 di mana
penggunaan enam angka kodepos mulai dipergunakan di Singapura.
Memang prangko label tanpa nominal ini cukup menarik untuk kita perhatikan.
Apalagi dengan sampul luar warga-warni dan bertuliskan "Nice meeting you,
it's been a long time." Suatu sapaan bersahabat sekali bagi siapa saja.
Tetapi dari segi filateli, tampaknya masih perlu penelusuran lebih lanjut
mengenai masa depannya. Terlebih lagi perlu kita simak mengenai reaksi pasar
para pedagang benda filateli.
Bagi Indonesia sendiri, mungkin perlu pula dipertimbangkan pembuatan prangko
serupa tanpa angka nominal. Selain memudahkan masyarakat untuk
menggunakannya, juga tidak perlu lagi berpikir mengenai angka, berapa biaya
tarip pos surat biasa. Cukup mengambil prangko tanpa angka nominal,
tempelkan ke surat, masukkan ke bis surat di mana pun tersedia.
Perhatian 220 juta jiwa warga Indonesia yang selama ini melihat prangko
dengan gambar dan angka, juga akan tertuju ke prangko jenis ini. Bagi yang
bukan berhobi filateli, setidaknya prangko itu mungkin akan disimpan sebagai
benda kenang-kenangan.
Tetapi bagi yang punya hobi filateli, meski dalam kadar persentase rendah,
akan semakin terguyur basah untuk semakin menekuni hobi filatelinya. Kalau
sudah dijadikan koleksi benda filateli, pos pun akan semakin beruntung
karena tak usah mengeluarkan biaya lagi untuk mengantarkan suratpos. Lha
wong prangkonya disimpan!
Yani Susilo