First Created - January 31, 1999


Prangko Mahal Bukan Hanya Karena Usianya
[Suara Pembaruan, January 31, 1999]


JAKARTA - Di kalangan masyarakat masih ada anggapan bahwa semakin tua koleksi suatu prangko, semakin mahal harganya. Akibatnya, tak sedikit yang datang atau menelepon ke Sekretariat Pengurus Pusat Perkumpulan Filatelis Indonesia (PP PFI) di Jalan Pos 2 Jakarta Pusat, dengan maksud untuk menjual koleksi prangko yang menurut si penjual adalah peninggalan atau warisan keluarganya.

''Ini prangko sudah tua usianya, Pak. Saya mau jual prangko-prangko ini,'' tutur seorang yang datang hendak menjual koleksi prangko warisan keluarganya.

Petugas Sekretariat PP PFI yang melihat koleksi itu, akhirnya berusaha menjelaskan bahwa mahalnya harga prangko bukan hanya karena usianya yang sudah tua saja. Misalnya, prangko-prangko Indonesia tahun 1960-an, yang kalau dihitung dari segi usia saat ini sudah berumur sekitar 35 tahun, ternyata masih banyak yang bisa dibeli di pedagang prangko dengan harga kurang dari Rp 5.000 perkeping, bahkan tak sedikit yang paling mahal Rp 1.000. Itu pun harus dalam kondisi belum terpakai (mint) dan perekat (gum) di bagian belakang prangko masih utuh belum berubah warna.

Sebaliknya, cukup banyak prangko Indonesia terbitan 1980-an atau 1990-an, yang kini harganya telah di atas Rp 5.000 perkeping untuk prangko dalam kondisi belum terpakai (mint). Contoh paling populer adalah prangko seri ''Fauna 1989'' bergambar orangutan yang satu setnya terdiri dari 4 prangko. Untuk kondisi belum terpakai harga satu set mencapai di atas Rp 50.000, sedangkan satu set prangko bekas pakai (used) harganya sekitar Rp 25.000. Padahal bila dihitung dari segi usia, prangko itu baru berumur sekitar 10 tahun saja.

Banyak Dicari

Menurut beberapa pedagang prangko yang dijumpai Pembaruan, mahalnya harga suatu prangko ditentukan oleh beberapa hal. Antara lain dari kelangkaannya. Artinya, prangko tersebut saat ini yang tersisa tinggal sedikit.

Namun selain langka, prangko itu juga harus banyak peminatnya. Karena ada beberapa prangko yang sebenarnya sudah langka, namun karena peminatnya tak terlalu banyak, maka harga prangko itu tidak meningkat terlalu sering.

Kurangnya peminat, bisa juga disebabkan kurang dikenalnya prangko itu di kalangan filatelis. Ambil contoh mengenai prangko-prangko Indonesia, yang belum begitu dikenal di dunia filateli mancanegara. Padahal bila dilihat dari jumlah cetak tiap kali terbit, prangko Indonesia cenderung cepat menjadi langka. Saat ini misalnya, jumlah cetak prangko Indonesia hanya sekitar 1 juta keping tiap desain.

Padahal negara-negara ASEAN lainnya, tiap kali terbit sudah jauh di atas itu. Apalagi dibandingkan dengan Belanda yang walaupun penduduknya jauh lebih sedikit dari Indonesia, jumlah prangko yang dicetak bisa lebih banyak. Sementara Amerika Serikat, tiap kali menerbitkan prangko baru, bisa mencetak di atas angka 10 juta keping.

Jadi sebenarnya, prangko Indonesia cenderung cepat menjadi langka. Khususnya yang belum terpakai, karena sebagian terbesar habis dipakai untuk keperluan suratpos. Hanya mungkin karena publikasi mengenai prangko-prangko Indonesia belum begitu meluas di luar negeri, maka peningkatan harganya di kalangan filatelis belum meningkat dengan cepat.

Lembar Kenangan

Di samping prangko, lembar kenangan (souvenir sheet) Indonesia sebenarnya juga mempunyai prospek yang cerah untuk cepat meningkat harganya. Hal ini antara lain disebabkan jumlah cetaknya yang juga masih terbatas, padahal peminatnya di dalam negeri saja sudah banyak.

Harus diakui, penerbitan lembar kenangan Indonesia tahun 1998 kurang begitu disukai filatelis. Antara lain karena jumlah penerbitan lembar kenangan yang terlalu banyak dan harga nominalnya terlalu tinggi. Namun, lembar-lembar kenangan sebelum 1998, tetap menjadi ''buruan'' para filatelis.

Apalagi kalau filatelis tahu, bahwa sebenarnya ada beberapa lembar kenangan yang kini tersisa jauh lebih sedikit dibandingkan ketika pertama kali dicetak. Berarti lembar kenangan itu semakin langka lagi. Khususnya untuk lembar kenangan Indonesia terbitan 1994.

Pada waktu diterbitkan, lembar kenangan 1994 itu kurang disukai filatelis antara lain karena desainnya kurang menarik. Sehingga yang tersisa di loket-loket filateli masih banyak. Ketika masa jualnya berakhir, lembar kenangan yang tersisa itu sesuai peraturan kemudian ditarik dan dimusnahkan. Akibatnya, jumlah lembar kenangan 1994 yang tersisa dan beredar di kalangan filatelis kini semakin sedikit.

Informasi yang diterima Pembaruan, dalam kasus berbeda, lembar kenangan seri ''Seniman Indonesia 1997'' juga semakin berkurang yang masih dalam kondisi belum terpakai. Karena banyak di antaranya yang telah digunakan untuk pengiriman suratpos, khususnya untuk pengiriman katalog lelang prangko, buletin filateli, maupun suratpos biasa lainnya. Itu berarti, lembar kenangan seri itu yang belum terpakai, semakin terbatas.

Saat ini, harga lembar-lembar kenangan 1994 maupun seri ''Seniman Indonesia 1997'' memang belum meningkat dengan cepat. Namun diperkirakan, bila semakin banyak filatelis yang tahu dan ikut ''memburu'' lembar kenangan itu, harganya pun akan meningkat di kemudian hari.(B-8)



Back to Clippings Philately | HOME