OBROLAN FILATELI
JAKARTA (3 JANUARI 1999) -
SURABAYA (4 JANUARI 1999)


Keterangan foto: Richard Susilo sedang mengumumkan hadiah undian hadir berhadiah bagi yang berpartisipasi di dalam obrolan filateli seusai lelang yang dipimpin oleh Bp. Rijanto dan Bp. Lutfi di Kantor Filateli, Jl. Pos No.2, Jakarta Pusat, 3 Januari 1999 jam 10.00-15.00 wib.

Rangkuman Hasil Obrolan Filateli

Jakarta, 3 Januari 1999 (Kantor Filateli Jakarta)
Surabaya, 4 Januari 1999 (Kantorpos Besar Kebonrojo Surabaya)

1. Jumlah partisipan di Jakarta sebanyak 25 orang dan 15 orang di Surabaya.
2. Partisipan yang beruntung mendapatkan hadiah album prangko kampung halaman Jepang (lihat http://www.filateli.net) adalah Bapak Abazar (Jakarta) dan Ibu Cuplik (Surabaya).
3. Beberapa hal yang mendapat perhatian dalam diskusi filateli itu sebagai berikut :

a. Walaupun jumlah anggota filateli di Indonesia mendekati angka satu juta orang, hal itu masih diragukan keseriusannya sebagai pengumpul prangko.

b. Dengan krisis moneter saat ini, tampaknya cukup mempengaruhi belanja filatelis terhadap benda-benda yang diinginkan sehingga kini mulai selektif.

c. Hobi filateli membutuhkan banyak biaya. Olehkarena itu dalam berceramah di berbagai tempat di Indonesia, apabila penceramah sudah mengemukakan harga prangko mahal, para pendengar banyak langsung bersuara "huh......"

d. Pos Indonesia perlu mendengar lebih lanjut berbagai masukan dari para filatelis. Jangan menerbitkan sembarangan benda filateli dengan harga seenaknya sendiri.

e. Image benda filateli Indonesia di luar negeri menjadi kurang baik saat ini karena tidak ada kejelasan kebijaksanaan penerbitan prangko. Misalnya penerbitan prangko yang mendadak (tidak terencana sebelumnya) sehingga membingungkan semua pihak.

f. Di Jepang sendiri, menurut Richard Susilo, image prangko Indonesia setelah orde lama hingga kini menjadi kurang baik akibat kesan gasal terbith dan banyak prangko terbit tanpa terencana sebelumnya. Prangko cerak tindih jaman pendudukan Belanda dan Jepang pun menjadi barang yang dihindarkan di Jepang karena dianggap banyak yang asli tapi palsu (prangko asli tapi cetak tindih palsu) saat ini.

g. Para pengurus Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) juga dituntut lebih profesional lagi dalam mengelola perkumpulan dan meningkatkan mutu pengetahuan para anggota khususnya, demikian pinta partisipan.

h. Penerbitan buletin filateli harus bisa meningkatkan mutunya sehingga para anggota PFI bisa merasakan manfaat menjadi anggota dengan Iuran yang dibayarnya.

i. Satu subyek filateli yaitu Centering perlu diperkenalkan dan dipromosikan kepada para filatelis agar pengetahuan mereka meningkat dan tidak membosankan dengan hobi yang ditekuninya.

j. Beberapa partisipan sangat menentang masuknya pedagang filateli ke dalam kepengurusan PFI. Demikian pula merasa aneh para pedagang filateli bisa menjadi juri pula dalam suatu pameran filateli, karena dirasakan bisa tidak obyektif dalam penilaian para peserta pameran.

k. Di Jepang sendiri, sepengetahuan Richard Susilo, tidak ada pedagang prangko merangkap juga sebagai pengurus perkumpulan filatelis Jepang (JPS). Juga tidak ada pedagang prangko menjadi juri pameran filateli. Pedagang prangko hanya menjadi anggota dan pengurus dari Asosiasi Pedagang Prangko Jepang. Hal ini bisa terjadi karena etika yang tinggi dari mereka, merasa sendiri tidak pantas sebagai pengurus JPS dan juri pameran, karena menyadari dirinya adalah pedagang prangko.

l. Para pengumpul prangko di Jepang selalu melakukan spesialisasi dalam koleksinya. Terlihat dari koleksi sejak remaja sudah mulai terlihat dan terbentuk arah yang jelas dari koleksinya. Karena spesialisasi inilah, maka dana yang dibutuhkannya tidak sedikit untuk melengkapi koleksinya tersebut. Olehkarena itu tidak heran di negara barat, justru para pemilik usaha (seperti pemilik bank, supermarket, dll) yang banyak berkecimpung dan memiliki koleksi filateli yang luar biasa.

m. Kolektor prangko masuk dari banyak pintu. Ada yang mulai dari kolektor murni karena memang senang melihat dan bahkan ada yang tidak mau memperlihatkan kepada orang lain. Ada pula yang masuk lewat perdagangan atau bisnis, sehingga berupaya menjadikan benda filateli sebagai benda investasi menguntungkan. Ada pula yang masuk lewat aktivitas organisasi seperti PFI. Bukan tidak mungkin ada yang masuk ke dunia filateli karena mendapat hibah dari orangtuanya yang meninggal dunia, dan lain-lain.

n. Menurut Richard Susilo, apabila pengumpul prangko sudah mulai berpikir untuk bisa mendapatkan keuntungan dari koleksinya, berharap bisa menjual dan dapat untung besar dari koleksinya di suatu hari nanti, sebaiknya mulai sekarang saja berlaku sebagai pedagang prangko. Artinya, benda filateli yang dimiliki sudah menjadi komoditi bisnis biasa seperti komoditi perdagangan yang lain dan dirinya bukan lagi pengumpul prangko biasa.
Dari banyak pengalaman filatelis dunia, seorang pengumpul prangko yang separuh-separuh, hanya berharap mendapatkan banyak untung dari koleksinya apabila dijual nantinya (umumnya oleh keluarganya setelah dia meninggal), malahan banyak mengalami kekecewaan pada saat menjual benda filatelinya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena hobi filateli adalah hobi pribadi hobi perorangan. Belum tentu anggota keluarganya menyenangi benda filateli sehingga tak tahu apa yang harus dilakukan saat menjualnya. Sedangkan si filatelis sendiri biasanya tidak menularkan ilmu dan pengetahuannya secara keseluruhan kepada anggota keluarganya, di samping si anggota keluarga juga mungkin kurang senang dengan hobi filateli. Hobi itu sendiri tidak bisa dipaksakan kepada orang lain agar ikut pula menyenangi.

o. Pengumpul prangko juga memiliki kesempatan meningkatkan pengetahuannya lewat diskusi filateli yang kini sudah tersedia lewat internet pula. Sedangkan ilmu filateli juga bisa diserap lewat membuka dan membaca dari website (homepages) filateli misalnya yang telah disediakan oleh Richard Susilo lewat http://prangko.or.id, atau http://www.prangko.com, atau http://www.filateli.net

p. Kelemahan dan hambatan perkembangan perfilatelian di Indonesia terutama dipengaruhi dua faktor yaitu uang dan disiplin nasional. Hobi yang sangat membutuhkan uang ini, menurut Richard Susilo, bisa dipromosikan lewat cara menanamkan pengertian bahwa hobi filateli adalah hobi yang bergengsi tinggi (prestige). Pengumpulnya pun harus memiliki disiplin yang tinggi dalam aktivitasnya mengoleksi benda filateli. Contoh; Tangan yang tidak bersih jelas akan mudah menghancurkan benda filateli itu sendiri. Olehkarena itu lewat hobi ini, dalam promosi kita, harus pula ditekankan bahwa hobi ini bisa membentuk manusia berdisiplin tinggi dalam segala bidang. Hanya gara-gara sebagai pengumpul prangko.

q. Bagi Pos Indonesia pun perlu memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia yang saat ini sedang mengalami krismon. Apabila menerbitkan benda filateli dengan harga tinggi, jelas tidak mendukung perfilatelian di Indonsia. Di kancah internasional pun Pos Indonesia perlu lebih gencar lagi mempromosikan dan meluruskan image tidak baik mengenai benda filateli Indonesia saat ini.

r. Semua itu bisa dilakukan dengan keterbukaan Pos Indonesia sendiri, menjelaskan semua hal kepada umum, setidaknya lewat milis filateli yang sudah ada, serta sarana filateli lain.


Keterangan gambar: Obrolan Filateli bersama para filatelis Surabaya yang dikoordinir Vincent Kuori [tanda X] dan Ibu Cuplik [tanda O], pemenang undian hadir berhadiah - satu album prangko kampung halaman Jepang yang berharga 3.500 yen. Satu album lagi yang sama, di Jakarta berhasil diraih oleh Bapak Abazar.

Beberapa Ide yang dikeluarkan Richard Susilo:

1. Kartupos buatan PT Pos Indonesia yang sudah dibeli, apabila sudah lama tidak dipakai (tapi masih bermutu baik), bisa ditukarkan dengan yang baru di semua kantorpos di Indonesia tanpa biaya apa pun. Apabila sudah tercoret, bisa pula ditukarkan, tetapi si penukar harus membayar sejumlah uang. Misalnya hanya Rp.50. Ide ini berasal dari Jepang, di mana kartupos lama bisa ditukar dengan yang baru tanpa tambahan biaya apa pun dan kartupos yang telah tercoret bisa ditukarkan kartupos baru dengan membayar 5 yen per kartupos.

2. PT Pos Indonesia yang selama ini melakukan promosi filateli dengan sistem bottom-up, harus pula didukung dengan sistem up-bottom. Kalau selama ini pos berceramah berpromosi ke daerah-daerah untuk menggaet banyak filatelis muda atau pemula untuk mengenal dan mengumpulkan prangko, kini pos harus pula bisa menggaet filatelis senior. Para filatelis senior yang punya banyak ilmu harus dikumpulkan, bentuk tim kecil, dibantu pos, agar mereka ikut tergerak pula mempromosikan filateli. Namun sasaran ceramah para filatelis senior bukan pemula, tetapi para filatelis yang telah punya cukup baik pengetahuan filateli agar pengetahuan filateli mereka lebih baik lagi, tidak mendek, dengan belajar dari sang senior.
Mereka ini (kalangan filatelis menengah), sebagai imbal balik, harus pula menjadi mentor atau menurunkan ilmunya ke filatelis yang lebih muda seperti para pemula pengumpul prangko. Dengan demikian ada dua arah pengembangan perfilatelian di Indonesia dan akan terasa lebih "hidup" karena nantinya bisa sambut-menyambut baik dari bawah (filatelis yunir) maupun dari atas (filatelis senior).

Demikianlah beberapa butir penting hasil obrolan filateli dengan para partisipan di kedua kota besar di Indonesia. Kiranya berguna bagi kita semua.

Richard Susilo
Tokyo, January 8, 1999