Kompas, Kamis, 20 November 1997

Barry Jarret, Jatuh Bangun Demi Prangko

Kompas/yul
Barry Jarret
ADA kejadian di mana seorang pe-dagang hanya mengantungi Rp 1 juta pada hari pertama sebuah pameran. Padahal pada pameran serupa tahun lalu, ia bisa meraup untung kotor Rp 30 juta per hari. Bila anda yang menjadi pedagang itu, mungkin akan mengomel tidak karuan menghadapi kejadian ini, dan lantas merasa menjadi pedagang paling sial. Atau mungkin memutuskan berhenti berjualan. Tapi bagi Barry Jarret (49), kejadian itu tidak membuatnya lantas kehilangan senyum dan semangat.

Kolektor dan pedagang prangko asal Australia ini memang betul-betul mengalami kejadian itu di Pameran Filateli Nasional (Panfila) 1997 yang berlangsung selama lima hari dua pekan lalu di Ujungpandang. Pada pameran serupa tahun lalu di Bandung, Barry melalui stan prangkonya "Status International" memang meraup untung besar, namun pada Panfila 1997 di Ujungpandang, ia sudah syukur bila hasil penjualan prangkonya bisa menutupi biaya pulangnya ke Australia.

"Ini bukan kejadian luar biasa. Saya tidak kaget bila peminat di Ujungpandang tidak sebanyak di Bandung atau Jakarta, sama tidak kagetnya saat saya tahu pengunjung pameran filateli di kota ini tidak begitu banyak. Saya sudah sering mengalami hal semacam ini," katanya dengan tenang.

Empat belas tahun lalu saat ia memutuskan menghabiskan hidupnya dengan prangko, ia pun sudah yakin jalan yang dilaluinya tidak akan mudah. "Hal pertama yang harus saya sadari, saya tidak mungkin kaya dengan pilihan hidup semacam ini," ujar mantan guru ini.

***

MENGUMPULKAN uang setelah kurang lebih lima tahun menjadi guru di sekolah Katolik St Edmund Canberra, berkeliling berbagai negara membeli dan menjual prangko, dan akhirnya membeli "Status International" seharga 250.000 dollar Australia pada 1986, dua tahun terakhir bangkrut lalu menjual perusahaan itu pada 1996, adalah garis besar kehidupan Jarret.

Ia boleh dikata jatuh bangun demi kesukaannya terhadap prangko. Menurut pengakuannya, ada saat di mana kadang disergap rasa tidak percaya menjalani hidup yang terkesan begitu mengabdikan diri pada benda pos itu. "Tapi rasa itu sudah semakin jarang muncul, yang terjadi saya selalu merasa berharga di tengah koleksi prangko yang saya miliki. Saya tidak perduli telah mengalami perjalanan bisnis yang kurang menguntungkan, sehingga terpaksa menjual 'Status International', salah satu perusahaan perdagangan prangko terbesar di Australia. Tapi paling tidak saya pernah memilikinya selama 10 tahun, dan saat ini saya tetap dipekerjakan oleh pemilik baru dengan sistem share profit hingga 1999," kata Jarret.

Bukan untuk menjadi kaya. Kalimat itulah yang tetap membuat Jarret tersenyum saat melihat sepinya pengunjung Panfila 1997. Ketika peserta pameran lainnya mulai berkeluh kesah, ia justru menikmati lima hari yang dilaluinya dengan menawarkan para pelajar yang mampir ke stan-nya untuk mendengar penjelasannya tentang prangko.

"Ayolah, mampir sebentar saja, akan saya perlihatkan koleksi prangko yang langka dan bahkan bernilai hingga Aus 2.000 dollar. Tidak ada salahnya belajar mencintai prangko," katanya ramah dalam bahasa Indonesia patah-patah bercampur bahasa Inggris dengan logat Australia yang kental.

Seorang gadis Indonesia berumur 23 tahun yang telah menjadi asistennya dua tahun terakhir di Australia, dengan sabar menerjemahkan ajakan Jarret kepada anak-anak berseragam yang datang bergerombol di depan stan mereka. "Begitulah Barry, jiwa pendidiknya lebih menonjol dibanding jiwa bisnisnya," kata sang asisten.

"Saya memang bukan pedagang, tapi pencinta prangko. Kalaupun saya menjual prangko itu semata-semata agar usaha ini bisa tetap jalan dan saya punya sedikit uang untuk hidup," ujar pemuda lajang kelahiran 24 Maret 1948.

Koleksi prangko pribadinya mencapai ratusan ribu lembar, yang meliputi hampir seluruh negara dan kejadian penting yang pernah berlangsung di dunia. Untuk kepentingan pameran di luar negeri, ia kadang membawa tiga hingga empat koper prangko.

"Saya memisahkan prangko untuk dijual dan prangko untuk koleksi pribadi," ujar pria yang mengaku paling menyayangi koleksi prangkonya yang keluaran Perancis berusia lebih delapan puluh tahun. Pada zaman berlakunya, karena suatu dan lain hal pemerintah Perancis menaikkan nilai prangko itu dari empat sen menjadi lima sen.

***

MELALUI "Status International", Jarret aktif menggelar lelang prangko secara teratur di salah satu hotel mewah di Canberra, dan menyusun katalog prangko setiap bulannya. Selain itu, waktunya habis untuk merawat koleksi prangkonya. Hidupnya memang semata-mata untuk prangko. Tidak seperti pedagang prangko lainnya, yang umumnya mempunyai usaha lain untuk menopang hidup, Jarret sama sekali menggantungkan hidupnya pada prangko.

"Saya aktif di berbagai perkumpulan filateli, dan menganggap cukup hidup dengan prangko. Bagi saya hidup menjadi berarti bila kita mencurahkan waktu untuk hal yang betul-betul diminati," katanya.

Pendidikan formal yang dijalaninya di Canberra University dengan mengambil jurusan Special Education, program pendidikan calon guru bagi anak-anak terbelakang mentalnya sama sekali tidak nampak berhubungan langsung dengan jalan hidup yang dipilihnya. "Saya sempat menjadi guru, dan menjadikan prangko sebagai salah satu media belajar mengajar. Ada anak yang tertarik, tapi kebanyakan menganggap prangko adalah sesuatu yang kuno, old fashioned kata mereka."

Selama 1965-1973, ia menjalani wajib militer, kemudian beralih menjadi instruktur Australian Air Force Physical Training.

Latar belakang yang beragam, dari instruktur di kemiliteran hingga guru bagi anak-anak yang terbelakang mentalnya akhirnya ditinggalkan Jarret, setelah memutuskan membuka toko prangko kecil di kota Canberra pada 1983.

Dari situlah pengabdiannya kepada benda pos berukuran kecil mungil itu bermula. Di Australia, katanya, cukup banyak orang yang mencari uang dengan membuka perdagangan prangko, meskipun sangat sedikit yang menjadikan prangko sebagai satu-satunya tumpuan hidup. Kebanyakan para agen penjual prangko, mempunai usaha lain.

"Saya mengoleksi prangko sejak sekolah dasar. Saya telah mendatangi beberapa negara, telah merasa menjadi orang paling kaya di dunia karena memiliki koleksi prangko langka, hingga akhirnya bangkrut, dan terpaksa menjual 'Status International', perusahaan prangko yang saya beli sepuluh tahun lalu," katanya.

Ia agak enggan bercerita panjang ikhwal mengapa ia terpaksa menjual "Status International". "Perusahaan itu berkembang menjadi sangat besar saat saya miliki, dan akhirnya saya tidak mampu mengendalikannya," ujar Jarret singkat.

Jiwa pendidiknya sangat kentara bila dilihat dari sikap Jarret menawarkan prangko selama Panfila '97 yang berlangsung di Balai Manunggal ABRI Rakyat Ujungpandang. Ia menurunkan harga jual prangko yang ditawarkannya dengan alasan ideal, "Daya beli orang Indonesia belum sebaik masyarakat negara maju, apalagi untuk hal-hal yang berkaitan dengan hobi. Saya selalu memberi diskon, apalagi untuk anak-anak sekolah, agar mereka berminat mengoleksi prangko. Saya juga selalu mengajak mereka mendengar cerita mengenai sejarah prangko atau mempelajari gambar-gambar koleksi bunga dan hewan langka melalui prangko. Syukurlah, karena masih ada satu dua remaja yang betah mendengarkan," tuturnya.

Meskipun belum tahu pasti apa yang bakal dilakukannya pada tahun 1999 kelak, setelah kontrak share profit dengan pemilik baru "Status International" berakhir, Jarret telah memutuskan untuk menetap di Indonesia. "Saya telah bertunangan dengan seorang gadis Indonesia, mungkin saya akan cari kerja di sini. Saya ingin kembali menjadi guru, tapi dengan satu syarat, pihak sekolah harus mengizinkan saya membuka pelajaran mengenal prangko, karena saya akan terus menerapkan sistem pendidikan melalui prangko," katanya. (lily yulianti farid)